Polemik Status Kewarganegaraan Orient P. Riwu Kore dan Disposisi PDIP sebagai Partai Pengusung
![]() |
Alvitus Minggu (Foto Pribadi) |
Quote
Amor - Beberapa bulan yang lalu, tepatnya 9 Desember 2020, sejumlah Provinsi, Kabupaten
dan Kota mengikuti Pilkada serentak. Pilkada tersebut diikuti oleh
daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2021.
Pilkada
tersebut merujuk pada Undang-Undang Pilkada No 10 tahun 2016 sebagai dasar
hukum proses pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Dari 270 calon kepala daerah
yang ikut berlaga dalam pemilihan kepala daerah serentak 2020, kita dikejutkan
dengan berita mengenai calon bupati yang status warga negara ganda, yaitu warga
negara Indonesia dan warga negara Amerika Serikat.
Calon
Kepala Daerah tersebut adalah Orient P. Riwu Kore, Calon Bupati Kabupaten Sabu
Raijua, Provinsi Nusa Tengara Timur (NTT). Daerah otonom yang baru dibentuk
pada tahun 2008.
Orient
P Riwu Kore yang berpasangan dengan Thobias Uly berhasil menang dengan
perolehan suara 46, 4 persen atau 6.276 suara. Pasangan Orient - Thobias yang diusung
oleh 3 partai politik, yaitu PDIP, Gerindra dan Demokrat mampu menggeserkan paket
petahana, yaitu pasangan Nikodemus N Rihi Heke - Yohanis Uly Kale, yang hanya meraih 5. 456 suara.
Status kewarganegaraan Ganda Orient P. Riwu Kore menjadi polemik yang cukup alot ketika KPUD mengumumkan
kemenangan mereka. Hal tersebut menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. PDIP
sebagai partai pengusung utama, pada awalnya, tidak mengetahui persoalan
tersebut bahwasannya Orient P Riwu Kore baru menjadi kader partai ketika hendak
maju dalam Pilkada 2020.
Sementara
kalau melihat syarat utama untuk memiliki kartu anggota partai adalah seseorang
harus berstatus Warga Negara Indonesia (WNI). Status itu dapat dibuktikan melalui dokumen kependudukan e-KTP dan kartu keluarga (KK).
Status Orient P Riwu Kore sebagai warga negera Amerika dibenarkan oleh Bawaslu kabupaten
Sabu Raijua, NTT. Itu pun setelah mendapat kepastian informasi dari pihak
kedutaan Besar Amerika Serikat.
Direktur
Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Zudan Arif Fakrulloh, mengungkapkan
bahwa Orient memang pernah memiliki paspor Amerika Serikat tanpa melepaskan
status kewarganegaraan Indonesia.
Ini
merupakan suatu peristiwa politik yang tidak lazim terjadi sepanjang sejarah
pilkada yang berlangsung di Indonesia sejak tahun 2005 hingga sekarang. Statusnya
sebagai warga negara Amerika ini terkuak ketika memenangkan pemilihan Bupati Kabupaten
Sabu Raijua pada Pilkada 2020.
Sebenarnya,
Orient merupakan putra asli Kupang yang lahir dari keluarga WNI asli. Karena berdasarkan
asas ius sanguinis atau law off the blood, yaitu kewarganegaraan
berdasarkan garis keturunan, secara de
facto dan de jure, Orient P Riwu
Kore adalah WNI sehingga ia seharusnya mendapat perlindungan hukum.
Namun persoalanya menjadi lain ketika dia memilih dan mencalonkan diri sebagai calon bupati. Memang Orient menyelesaikan pendidikannya di AS dan bekerja di AS pada tahun1997.
Kemudian ia menikah dan menjadi Warga Negara AS pada tahun 2000. Lalu kemudian ia kembali ke Indonesia dan tidak melepaskan identitasnya sebagai Warga Negara AS.
Tentu hal tersebut menjadi polemik. Karena dalam PP Nomor 2 Tahun 2007 khususnya dalam
penjelasan pasal 31 ayat 1 huruf g menegaskan bahwa apabila seseorang WNI
memiliki kewarganegaraan lain maka statusnya sebagai WNI dengan sendirinya akan
gugur.
Dalam
konteks itulah sebenarnya Orient P Riwu Kore secara tidak langsung membuat
kehilangan statusnya sebagai WNI. Tetapi persoalannya adalah dia tetap
mempertahankan sebagai WNI dan sebagai Warga Negara Amerika Serikat atau
memiliki status kewarganegaraan ganda. Oleh karena itu, Orient P Riwu Kore
tidak dibenarkan secara hukum untuk dicalonkan sebagai calon bupati kabupaten Sabu
Raijua.
Kelalaian
Orient dapat menimbulkan konsekuensi hukum, bahkan terancam diskualifikasi. Selain
itu juga ketiga partai pengusung; PDIP, Gerindra dan Demokrat harus
bertanggungjawab terhadap pelanggaran tersebut.
Dalam teori Rekrutmen, sebagaimana dikemukakan Pippa Noris,
ada tiga tahap berturut-turut bekerja dalam proses rekrutmen politik. Pertama
sertifikasi. Pada tahap ini melibatkan hukum pemilu, peraturan partai dan norma
sosial. Proses sertifikasi tersebut selalu berhubungan dengan persayaratan
hukum formal untuk pencalonan.
Selain
itu juga ada beberapa syarat pada tahap sertifikasi ini seperti syarat usia,
kewarganegaraan, pendidikan atau keaksaraan dan tempat tinggal. Kedua, tahap nominasi,
dimana pada tahap ini akan ditentukan siapa saja yang akan dicalonkan. Ketiga,
faktor seleksi, dimana pada tahap ini akan ditentukan calon yang memenangkan dalam
merebut jabatan dari beberapa yang dicalonkan (Crotty, 2014: 149).
Berdasarkan
teori rekrutmen Pippa Noris di atas, menunjukkan bahwa Orient sebenarnya sudah
tidak memenuhi kualifikasi hukum pemilu tetapi partai tetap meloloskannya. Ini
merupakan suatu tindakan partai yang mempertontonkan kebobrokan sistem
rekrutmen politik kepada publik.
Melalui
kasus Orient juga mempelihatkan bahwa internal partai politik belum
merealisasikan demokrasi sebagai karakter dasar organisasi.
Dalam
konteks ini, hadirnya hukum pemilu, sebagaimana ditegaskan oleh Pippa Noris, adalah
bertujuan untuk mencegah calon yang tidak memiliki integritas dan kapabilitas
secara politik.
Kasus
Orient akhirnya memberikan dampak negatif bagi PDIP, Gerindra dan Demokrat
sebagai partai pengusung. Persoalan tersebut dapat menimbulkan kurangnya
kepercayaan terhadap partai politik maupun pihak penyelenggara pemilu, bahkan secara
politik lebih dari itu, yaitu bisa mempengaruhi perolehan suara untuk partai pengusung, khususnya PDIP dalam Pileg maupun Pilpres 2024.
Masyarakat
umum justru cenderung menilai bahwa yang bertanggung jawab terhadap kasus pelanggaran
hukum yang menimpa Orient adalah PDIP karena posisinya sebagai partai pengusung
utama. Sedangkan partai Gerindra dan partai Demokrat hanya sebagai partai
pendukung sehingga beban psikologi politik tidak seberat yang dirasakan oleh
PDIP.
Kasus
tersebut secara internal maupun eksternal merupakan sebuah kegagalan PDIP dalam
mengelola manajemen rekrutmen kader yang cenderung tidak profesional. Dapat
dibayangkan, Orient sebagai pendatang baru, tiba-tiba PDIP mengusungnya sebagai
calon bupati Sabu Raijua.
Peristiwa
ini memperlihatkan kemerosotan kader partai yang tidak mengikuti proses seleksi
yang benar. Untuk apa membuang waktu yang lama menjadi kader kalau pada
akhirnya hanya sebagai pendengar, penonton dan pelengakap pengurus partai.
Tidak ada ruang yang sama untuk memilih dan dipilih sebagai calon pemimpin
politik di setiap level.
Apa
bedanya pengurus partai dan non pengurus partai diperlakukan tidak sama secara
politik. Lebih baik berada di luar sistem sambil mengumpulkan uang sebanyak
mungkin. Lalu suatu saat maju sebagai calon legislatif maupun calon gubernur,
bupati dan walikota. Tinggal beli partai saja dan secara otomatis diakomodir
oleh partai.
Sesuatu
yang sangat memungkinkan itu terjadi karena pada dasarnya karakter partai di
negara berkembang seperti Indonesia, lebih condong memperlihatkan partai
politik sebagai pemburuh rente (rent
seeking).
Secara
ekonomi politik, mengambil keuntungan dari peraturan atau kebijakan yang dibuat
oleh regulator partai. Kemudian ditukarkan dengan sejumlah uang antara patron
dan klien. Keduanya sedang terlibat dalam pertukaran kepentingan, yaitu
kepentingan ekonomi dan kepentingan politik, meskipun cara-cara itu illegal
atau bertabrakan dengan aturan tapi dianggap illegal oleh partai politik.
Keadaan
tersebut bisa mengancam perkembangan demokrasi, bahkan bisa menurun kualitas
demokrasi. Patut diduga, bahwa kasus pelanggaran hukum yang menimpa Orient
terdapat pola-pola tertentu yang dilakukan oleh PDIP maupun partai lain
sehingga meloloskan Orient sebagai calon bupati Sabu Raijua.
Dengan
demikian kasus Orient P Riwu Kore tidak hanya dilihat sebagai peristiwa politik
tetapi ini menjadi tamparan besar bagi PDIP karena tidak melakuan proses seleksi
yang berdasarkan aturan yang benar.
Seharusnya
sebagai partai penguasa yang sangat berpengalaman dalam kanca politik nasional
lebih cermat dan lebih professional dalam mengelola manajemen rekrutmen politik,
demi menjaga kredibilitas masyarakat terhadap partai dan politik.
Karena
partai politik tidak hanya sekadar merekrut kader yang hanya berorientasi untuk merebut kekuasaan politik.Tetapi
partai politik harus sebagai wahana untuk mencetak kader-kader terbaik bangsa.
Partai
harus tetap berpegang teguh pada konstitusi partai. Oleh karena itu, demokrasi
internal partai perlu dihidupkan sebagai karakter dasar organisasi untuk
menjaga soliditas organisasi sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan
yang berpotensi besar untuk melahirkan faksi-faksi di tubuh partai politik.
Oleh:
Alvitus Minggu, S.I.P, M.Si.
Dosen
Fisip Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan dosen Ilmu
Politik Universitas Bung Karno Jakarta. Sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Network
Election Survey (INES).
Leave Comments
Post a Comment